JAKARTA, IndoBisnis – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai kebutuhan mendesak bagi Indonesia.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika, menyatakan bahwa regulasi ini dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi, memperbaiki sistem hukum, serta memulihkan kerugian negara.
Menurutnya, undang-undang ini penting tidak hanya untuk mematuhi standar internasional, tetapi juga untuk memungkinkan penyitaan aset korupsi yang disembunyikan, baik di dalam maupun luar negeri.
“Pelaku korupsi sering kali menyembunyikan aset mereka, membuat otoritas hukum kesulitan menjangkaunya. RUU ini akan menjadi alat yang kuat bagi negara untuk memulihkan kekayaan yang hilang,” kata Tessa pada Kamis (24/10).
- Perspektif Nasional
Di tingkat nasional, perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana atau non-conviction based asset forfeiture dipandang sebagai solusi yang efektif. Hal ini dapat meningkatkan penerimaan negara yang nantinya dimanfaatkan untuk pembangunan nasional dan mendukung program sosial.
“Pemulihan aset hasil kejahatan dapat memberikan kontribusi besar bagi keuangan negara. Dampaknya akan langsung dirasakan, terutama untuk pembiayaan proyek-proyek sosial yang bermanfaat bagi masyarakat,” tambah Tessa.
- Perspektif Internasional
Dari sudut pandang internasional, undang-undang ini juga penting untuk memenuhi standar Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC). Indonesia, kata Tessa, berkomitmen untuk memberlakukan pengaturan perampasan dan pengembalian aset yang diperoleh melalui korupsi. Dengan adanya UU ini, Indonesia menunjukkan keseriusannya dalam menangani kejahatan lintas negara dan memulihkan aset yang berada di luar yurisdiksi.
“Kami harus mematuhi standar internasional seperti yang ditetapkan oleh FATF (Financial Action Task Force) dalam upaya pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kemampuan untuk menyita aset akan meningkatkan peluang Indonesia menjadi anggota penuh FATF,” ujar Tessa.
- Tantangan dan Harapan
Tantangan utama dalam penerapan UU Perampasan Aset adalah budaya korupsi yang telah mengakar di birokrasi. Praktik suap dan gratifikasi masih kerap terjadi. Oleh karena itu, diperlukan komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk memastikan keberhasilan undang-undang ini.
Tessa menambahkan bahwa keteladanan dari pimpinan negara sangat penting untuk menegakkan integritas pemerintahan. “Komitmen dari presiden sangat diharapkan, terutama dalam reformasi birokrasi dan sistem pengawasan agar korupsi bisa dicegah dan diberantas secara efektif.”
KPK juga berharap bahwa undang-undang ini dapat membantu meningkatkan peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di mata internasional. Peningkatan peringkat ini menunjukkan efektivitas tata kelola pemerintahan yang baik serta memberikan dampak positif bagi citra negara.
“Melalui UU ini, Indonesia tidak hanya memperbaiki kredibilitas di dalam negeri, tetapi juga di kancah internasional. Ini adalah langkah penting menuju Indonesia yang bebas korupsi dan bermartabat,” tutup Tessa.***
Artikel ini telah tayang di IndoBisnis.co.id.