JAKARTA, IndoBisnis – China mengalami penurunan angka kelahiran dalam beberapa tahun terakhir. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah mulai melonggarkan kebijakan kesuburan, termasuk memberikan akses IVF kepada perempuan yang belum menikah.
Jika kebijakan ini diterapkan secara nasional, wanita lajang di China bisa mendapatkan cuti hamil berbayar dan subsidi anak—hak yang sebelumnya hanya diberikan kepada pasangan menikah. Di beberapa wilayah seperti Sichuan, kebijakan ini sudah diberlakukan sejak 2023.
Chen Luojin, seorang wanita lajang berusia 33 tahun dari Chengdu, telah memanfaatkan perubahan ini. “Menjadi orang tua tunggal bukan untuk semua orang, tapi saya senang dengan keputusan ini,” ujarnya.
Penasihat politik China telah merekomendasikan agar perempuan lajang mendapatkan akses ke pembekuan sel telur dan IVF sejak 2022. Namun, hingga kini, pemerintah belum secara terbuka memberikan tanggapan terkait usulan tersebut.
Menurut Yve Lyppens, direktur pengembangan bisnis Asia Pasifik di INVO Bioscience, liberalisasi akses IVF di China bisa meningkatkan permintaan perawatan kesuburan secara signifikan. “Namun, jika permintaan meningkat tiba-tiba, China akan menghadapi masalah kapasitas yang besar,” ujarnya.
Saat ini, rumah sakit dan klinik di China menangani sekitar 1 juta siklus IVF per tahun, lebih rendah dibandingkan 1,5 juta di seluruh dunia. Sementara itu, angka keberhasilan IVF di China masih sekitar 30%, lebih rendah dibandingkan 52% di Amerika Serikat.
Pakar demografi menilai, meningkatkan akses IVF saja tidak cukup untuk menyelesaikan krisis populasi. Faktor seperti biaya hidup tinggi, pendidikan mahal, serta ketidaksetaraan gender juga perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.
“Ada beberapa wanita yang tidak ingin menikah tapi tetap ingin punya anak. Saya mungkin akan memilih untuk melakukan IVF,” kata seorang pakar populasi, Yang.***