JAKARTA, IndoBisnis – Di tengah berkecamuknya konflik bersenjata di Sudan, warga yang bersiap menyambut bulan suci Ramadan menghadapi kesulitan besar untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Lonjakan harga akibat perang yang berkepanjangan membuat banyak keluarga kesulitan membeli makanan, sementara di daerah yang terdampak langsung, kelaparan semakin meluas.
Di Port Sudan, wilayah yang relatif aman di pesisir timur, harga bahan pokok melambung tinggi. Gula, bahan utama dalam minuman berbuka puasa, kini dijual seharga 2.400 pound Sudan (setara dengan 1 dolar AS) per kilogram. Daging sapi muda mencapai harga 24.000 pound per kilogram, sementara daging kambing bahkan lebih mahal, yaitu 28.000 pound.
“Kami berjuang keras untuk membeli barang-barang Ramadan,” keluh Mahmoud Abd El Kader, seorang warga setempat, yang mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Situasi lebih mengkhawatirkan di wilayah yang terkena dampak langsung perang. Sejak pertempuran pecah pada April 2023, puluhan ribu orang tewas dan lebih dari 12 juta lainnya mengungsi.
Dampaknya bukan hanya keterbatasan akses pangan, tetapi juga kehancuran ekonomi. Nilai tukar pound Sudan terus anjlok, dari 600 pound per dolar AS menjadi 2.400 pound di pasar gelap.
Inflasi yang mencapai 145 persen pada Januari memperburuk keadaan, menyebabkan daya beli masyarakat semakin melemah.
Di wilayah barat Sudan, terutama Darfur dan Kordofan, jalur pasokan makanan terputus akibat perang antara tentara pemerintah dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Mengutip Kantor berita AFP, Sabtu (1/3/2025) Laporan dari PBB menyebutkan bahwa tiga kamp pengungsian di Darfur Utara sudah mengalami kelaparan, dan diperkirakan lima wilayah lainnya akan menyusul pada Mei mendatang.
Kondisi ini membuat warga terpaksa bertahan hidup dengan makanan seadanya. “Beberapa penduduk Darfur terpaksa memakan kulit kacang dan daun pohon,” ujar seorang pekerja kemanusiaan, Omar Manago. Program Pangan Dunia (WFP) PBB bahkan terpaksa menghentikan operasinya di Darfur Utara akibat meningkatnya kekerasan.
Kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk, memperingatkan bahwa tanpa intervensi segera, ratusan ribu orang bisa meninggal akibat kelaparan. “Sudan berada di ambang kekacauan lebih lanjut dan berisiko mengalami kematian massal akibat kelaparan,” ujar Turk dalam pertemuan Dewan HAM PBB.
Di ibu kota Khartoum, pertempuran antara tentara dan RSF terus berkecamuk, menyebabkan krisis kemanusiaan yang semakin dalam. Para relawan berupaya mendistribusikan bantuan, namun jumlahnya masih jauh dari cukup.
Banyak tradisi Ramadan yang biasa dilakukan warga Sudan kini hilang. “Dulu, para relawan berbaris di jalan membagikan makanan berbuka puasa bagi mereka yang terlambat pulang,” ujar Sabrine Zerouk, warga Omdurman. “Sekarang, hal itu tidak bisa lagi dilakukan.”
Mohamed Moussa, seorang dokter di Omdurman, mengungkapkan kerinduannya terhadap kebersamaan Ramadan sebelum perang. “Yang paling saya rindukan adalah berbuka puasa bersama keluarga dan teman-teman,” katanya. “Dan juga dekorasi Ramadan – semua itu kini telah hilang.”
Dengan situasi yang kian memburuk, masyarakat Sudan kini menghadapi Ramadan dalam kondisi penuh keterbatasan, di tengah ketidakpastian akan masa depan yang lebih baik.***