JAKARTA, IndoBisnis – Dugaan skandal suap dalam pemilihan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI semakin mencuat setelah Mantan Staf Khusus DPD RI, Irfan, kembali mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (7/3/2025).
Irfan menyerahkan data tambahan yang menguatkan dugaan adanya aliran dana haram ke 95 anggota DPD RI.
“Saya menyerahkan nama-nama 95 orang yang menerima suap dalam proses pemilihan tersebut. Itu berarti mereka adalah pihak penerima, sementara nama pemberi suap juga sudah saya lampirkan,” ungkap Irfan di depan wartawan usai keluar dari Gedung KPK.
Irfan mengklaim bahwa skandal ini melibatkan berbagai daerah di Indonesia, tidak terbatas pada satu wilayah saja.
“Kalau ditanya ada di provinsi mana saja, hampir seluruh provinsi ada yang terlibat,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa jumlah uang yang disepakati sudah terdokumentasi dalam catatan yang dimiliki oleh salah satu mantan atasannya, Raffi Talabri.
“Saya punya bukti kesepakatan angka uang yang diberikan, termasuk daftar nama penerima. Catatan itu berasal dari mantan atasan saya,” imbuhnya.
Lebih jauh, Irfan mengungkap bahwa dugaan suap ini tidak hanya melibatkan anggota DPD RI, tetapi juga pihak eksternal, termasuk aparat dan petinggi partai politik.
“Saya juga menyerahkan nama-nama dari luar lembaga, termasuk beberapa nama dari kalangan aparat,” ujar Irfan.
Saat ditanya apakah ada keterlibatan elite politik, ia membenarkan dan menyebut nama mantan Wakil Ketua Umum Partai Nasdem, inisial AA, yang diduga berperan dalam pengumpulan dana suap.
“Salah satu petinggi partai yang terlibat adalah Suamatan. Dia disebut-sebut ikut berperan dalam penyediaan dana untuk pemilihan unsur pimpinan di DPD dan MPR,” tegasnya.
Menurut Irfan, motif utama praktik suap ini bukan sekadar memenangkan kandidat tertentu, melainkan untuk mengamankan kepentingan politik jangka panjang.
“Kalau dilihat, ini bukan hanya soal pemilihan ketua. Ada kepentingan lebih besar, yaitu menempatkan orang-orang tertentu dalam posisi strategis di pemerintahan,” paparnya.
Irfan menegaskan bahwa niatnya mengungkap kasus ini bukan karena kepentingan politik atau kelompok tertentu.
“Saya berasal dari Sulawesi Tengah, tetapi saya tidak melihat ini dari sudut pandang daerah. Saya ingin memperjuangkan kebenaran karena ini menyangkut kepentingan publik,” pungkasnya.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik, dan desakan agar KPK segera melakukan penyelidikan semakin menguat. Jika terbukti, skandal ini bisa menjadi salah satu kasus suap terbesar dalam sejarah pemilihan pimpinan lembaga legislatif di Indonesia.
Irfan sebelumnya telah melaporkan Rafiq Al Amri ke KPK pada 6 Desember 2024 atas dugaan korupsi dan penerimaan suap terkait pemilihan pimpinan DPD dan MPR RI. Laporan ini telah terdaftar dalam sistem KPK dengan Nomor Informasi: 2024-A-04296.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, memastikan bahwa pihaknya akan menindaklanjuti laporan ini dan tidak menutup kemungkinan akan memanggil anggota DPD RI untuk dimintai keterangan.
“Beberapa saksi yang mengetahui atau mengalami langsung kejadian ini pasti keterangannya dibutuhkan oleh tim penyelidik,” ujar Setyo.
Ia menegaskan bahwa KPK tidak akan pandang bulu dalam menangani perkara ini.
“Kami memastikan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan bahwa laporan ini masih dalam tahap verifikasi oleh Direktorat Pelayanan Laporan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM).
“Laporan ini sudah masuk, tetapi masih dalam tahap verifikasi dan validasi di PLPM. Apakah akan berlanjut ke tahap penindakan? Kita tunggu saja hasilnya,” kata Asep.
Dengan semakin derasnya tekanan publik, banyak pihak berharap KPK segera mengambil langkah tegas untuk mengusut tuntas dugaan suap yang mencoreng integritas lembaga legislatif ini.***