JAKARTA, IndoBisnis – Saat SMA Negeri 8 Halmahera Barat mulai menikmati koneksi cepat berkat teknologi internet satelit Starlink, negara lain justru masih ragu untuk mengizinkan layanan ini beroperasi. Ada apa sebenarnya di balik satelit orbit rendah milik Elon Musk ini?
Pemerintah Provinsi Maluku Utara resmi menguji coba penggunaan Starlink pada Kamis (10/4/2025) untuk mengatasi masalah internet di wilayah blank spot. Gubernur Sherly Laos menegaskan, inisiatif ini diambil karena banyak sekolah kesulitan mengunggah data ke sistem Dapodik Kementerian Pendidikan akibat buruknya jaringan.
“Starlink diharapkan bisa menjadi solusi, terutama bagi sekolah-sekolah yang kesulitan memperbarui data karena ketiadaan jaringan,” kata Sherly mengutip Bisnis.com, Jumat (11/4/2025).
Dengan kecepatan unduh 25–220 Mbps dan unggah 5–20 Mbps, Starlink menjadi angin segar bagi pendidikan di daerah 3T. Namun di sisi lain dunia, tepatnya di India, layanan ini justru ditahan.
Menteri Telekomunikasi India, Jyotiraditya Scindia, menyatakan bahwa Starlink belum memenuhi standar keamanan dan perizinan negaranya. India menegaskan tidak akan mengeluarkan lisensi hingga semua ketentuan—termasuk keamanan data—dipenuhi.
Kondisi kontras ini pun memancing pertanyaan publik: apakah Indonesia terlalu cepat mengadopsi teknologi baru ini tanpa audit regulasi yang mendalam?
Sementara India memilih menunggu kejelasan alokasi spektrum untuk layanan komunikasi satelit, Indonesia melangkah duluan lewat sektor pendidikan. Sebuah langkah progresif atau terburu-buru?
Sherly Laos mengakui bahwa penggunaan Starlink di Maluku Utara baru sebatas uji coba. Ia meminta sekolah mengevaluasi efektivitas dan keamanannya sebelum dilakukan perluasan.
Namun, yang membuat publik semakin penasaran adalah belum adanya kejelasan terkait bagaimana perlindungan data, legalitas pemakaian spektrum, hingga regulasi infrastruktur asing di ranah komunikasi nasional. Apakah Indonesia sudah menyiapkan kerangka hukum untuk layanan seperti ini?
Starlink memang menjanjikan internet instan di daerah terpencil. Tapi ketika satu negara mulai mengandalkannya untuk kebutuhan strategis, dan negara lain justru menolaknya karena alasan keamanan, kita perlu bertanya:
Apakah kecepatan akses sebanding dengan risiko yang mungkin mengintai?***