JAKARTA, IndoBisnis – Krisis energi kembali menghantui Eropa setelah Kiev memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak transit gas dengan Gazprom pada akhir 2024.
Akibatnya, pasokan gas dari Rusia ke Hongaria, Rumania, Polandia, Slowakia, Austria, Italia, dan Moldova terputus, memicu lonjakan harga gas ke level tertinggi sejak Oktober 2023.
Presiden Ukraina Vladimir Zelensky berdalih bahwa keputusan ini bertujuan untuk memangkas pendapatan energi Rusia. Namun, Slowakia dan Hongaria menuduhnya sengaja memanfaatkan situasi demi keuntungan politik.
Melansir dari Russia Today, Minggu (2/2/2025), harga gas di hub TTF Belanda naik lebih dari 4% pada Jumat, melampaui USD 590 per seribu meter kubik, atau 53,62 euro per megawatt-jam.
Data menunjukkan bahwa tingkat penyimpanan gas Uni Eropa telah turun menjadi 55%, jauh lebih rendah dibandingkan 72% pada periode yang sama tahun lalu dan di bawah rata-rata lima tahun sebesar 62%.
Sejak 2022, Uni Eropa telah berusaha mengurangi ketergantungan pada gas Rusia, terutama setelah sanksi terkait Ukraina dan sabotase pipa Nord Stream. Sebagai gantinya, UE meningkatkan impor gas alam cair (LNG) dari AS dan Norwegia.
Namun, baru-baru ini, penghentian produksi di ladang Gullfaks, Troll, dan Asgard di Norwegia semakin memperburuk krisis pasokan.
Ironisnya, meskipun berusaha lepas dari ketergantungan pada Moskow, UE tetap mengimpor LNG Rusia dalam jumlah besar. Pada paruh pertama 2024, Rusia bahkan menjadi pemasok LNG terbesar kedua bagi UE setelah AS.
Di tengah krisis ini, Presiden AS Donald Trump terus menekan UE untuk membeli lebih banyak LNG Amerika. Bahkan, ia mengancam akan menerapkan tarif jika blok tersebut tidak mematuhi kebijakannya.
Kini, pejabat Uni Eropa mulai mempertimbangkan opsi untuk kembali mengimpor gas Rusia sebagai bagian dari potensi kesepakatan penyelesaian konflik Ukraina, sebagaimana dilaporkan oleh Financial Times.
Namun, rencana ini menuai pro dan kontra. Beberapa pihak khawatir bahwa melanjutkan impor gas dari Rusia dapat menggagalkan upaya diversifikasi energi yang telah dijalankan selama ini.
Sementara itu, Moskow sendiri masih meragukan kelayakan rencana tersebut.***