JAKARTA, IndoBisnis – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Dheky Martin sebagai tersangka di kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait penerimaan hadiah atau janji dalam pengadaan barang dan jasa di Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan.
Dalam kasus ini, seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Dheky Martin (DM), telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Konstruksi kasus ini menunjukkan adanya arahan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam sejumlah proyek strategis nasional,” ujar Tessa Mahardika juru bicara KPK, Jumat (29/11).
Dheky Martin kini ditahan selama 20 hari pertama, mulai 29 November hingga 18 Desember 2024, di Rumah Tahanan Negara Cabang Rutan Klas I Jakarta Timur.
Kasus ini bermula dari pengembangan perkara suap yang melibatkan Dion Renato Sugiarto (DRS) kepada Bernard Hasibuan (BH), pejabat pembuat komitmen di Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Semarang.
Berdasarkan penyidikan, KPK menemukan keterlibatan DM dalam berbagai proyek pengadaan barang dan jasa periode 2020–2022.
DM diduga menerima arahan dari Putu Sumarjaya (PS), Kepala BTP Kelas 1 Semarang, untuk memenangkan rekanan tertentu dalam sejumlah proyek seperti JGSS 2 hingga JGSS 5.
Proyek tersebut melibatkan perusahaan besar, termasuk PT Adhi Karya dan beberapa perusahaan lainnya.
KPK mengungkap bahwa DM bersama timnya memberikan kemudahan kepada rekanan tertentu melalui asistensi dokumen lelang, yang dilakukan di beberapa lokasi, termasuk di Hotel Ramada Solo.
DM juga menerima uang dan fasilitas lainnya dari rekanan sebagai imbalan untuk memuluskan proyek.
“Total uang yang diterima DM dari proyek ini mencapai Rp3,06 miliar. Selain itu, ia juga menerima fasilitas berupa kendaraan mewah,” ungkap Tessa.
Salah satu proyek yang disorot adalah pembangunan jalur ganda kereta api elevated antara Solo Balapan dan Kadipiro dengan nilai kontrak Rp66,98 miliar.
DM disebut aktif mengawal proyek ini, termasuk memfasilitasi pencairan termin pembayaran untuk perusahaan pemenang.
Dheky Martin dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Kasus ini menjadi alarm bagi pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dalam pelaksanaan proyek strategis nasional.
Proyek bernilai besar sering kali menjadi sasaran korupsi, yang tidak hanya merugikan negara tetapi juga mencederai kepercayaan publik.
KPK mengimbau masyarakat untuk melaporkan setiap indikasi korupsi dalam pelaksanaan proyek pemerintah.
“Transparansi dan akuntabilitas adalah kunci utama dalam mencegah praktik korupsi di masa depan,” tutup Tessa.***
Artikel ini telah tayang IndoBisnis.co.id.