JAKARTA, IndoBisnis – Dalam sejarah perselisihan hasil pemilihan (PHP) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2017 hingga 2022, banyak putusan yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK dibandingkan dengan yang dikabulkan, baik sebagian maupun seluruhnya.
Sebagai contoh, pada PHP Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati yang diperiksa MK pada tahun 2017, dari total 60 perkara, hanya 1 perkara yang dikabulkan, sementara 7 perkara ditolak seluruhnya dan 52 perkara dinyatakan tidak dapati diterima.
Hal serupa juga terlihat pada putusan MK tahun 2018, dari 72 perkara yang diperiksa, 61 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, hanya 2 perkara yang dikabulkan (sebagian atau seluruhnya), dan 6 perkara ditolak seluruhnya.
Pada putusan MK tahun 2022/2023, dari total 154 perkara yang diperiksa, hanya 19 perkara yang dikabulkan, sementara 104 perkara dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasarkan data tersebut, penting bagi pihak yang hendak mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan (PHP) Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk memeriksa secara cermat faktor-faktor yang sering menjadi alasan permohonan tidak diterima oleh MK.
Terlebih pada Pemilihan 2024, terdapat ambang batas maksimum pengajuan selisih suara sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016.
Penerapan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 sering menjadi penghalang bagi pemohon karena aturan tersebut menetapkan ambang batas selisih suara sebagai syarat formal yang harus dipenuhi.
Oleh karena itu, pemohon atau kuasanya perlu memberikan perhatian khusus dalam menyusun permohonan, termasuk dengan menyiasati argumen hukum yang dapat meyakinkan MK untuk mempertimbangkan penerapan pasal ini secara berbeda.
Salah satu strategi yang mungkin dilakukan adalah meminta MK agar penerapan Pasal 158 dapat ditunda sehingga pokok permohonan tetap dapat diuraikan dan diuji dalam persidangan.
Dengan mengaitkan Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 pada pokok permohonan dan menjelaskan relevansinya, pemohon dapat berupaya meyakinkan Mahkamah bahwa penerapan pasal tersebut perlu diuji lebih lanjut dalam pemeriksaan persidangan.
Pendekatan ini membutuhkan kecermatan hukum dan argumen yang terstruktur untuk meningkatkan peluang agar permohonan diterima dan diperiksa secara substansial oleh MK.
Artikel ini adalah opini hukum yang ditulis oleh Maulana MPM Djamal Syah, SH., MH., untuk memberikan wawasan seputar perselisihan hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.