Jumat, April 18, 2025
spot_img
BerandaEKONOMI DAN BISNISBencana Ekstraktivisme di Maluku Utara: Proyeksi 2025 dan Krisis yang Tak Terelakkan

Bencana Ekstraktivisme di Maluku Utara: Proyeksi 2025 dan Krisis yang Tak Terelakkan

Catatan Akhir Tahun 2024 oleh JATAM

JAKARTA, IndoBisnis – Tahun 2024 menjadi tahun yang penuh penderitaan bagi warga Maluku Utara, terutama yang tinggal di kawasan tambang. Aktivitas ekstraktif yang semakin intensif tidak hanya merusak alam, namun juga mengancam ruang hidup mereka. Banjir, kerusakan sungai, pesisir, dan laut menjadi pemandangan sehari-hari yang merusak kualitas hidup mereka.

Selain itu, tahun ini juga diwarnai dengan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, pengusaha tambang, dan politikus. Salah satunya adalah kasus mantan Gubernur Abdul Gani Kasuba yang disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi sumber daya alam. Ditambah dengan proyeksi politik yang semakin mengkhawatirkan di 2025, situasi di Maluku Utara diprediksi semakin parah.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah-seperti nikel, emas, bijih besi, dan batu gamping- Pulau Halmahera justru terjebak dalam kutukan ekstraktivisme. Pemerintah, baik di level daerah maupun pusat, telah mengabaikan dampak ekologis jangka panjang dari eksploitasi tanpa kontrol ini. Dampaknya sudah dirasakan masyarakat dalam bentuk kerusakan lingkungan yang semakin meluas dan bencana sosial-ekologis yang tak terelakkan.

Proyeksi 2025: Eskalasi Kerusakan

Memasuki 2025, pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka diperkirakan akan terus memperburuk situasi ini. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang dominan akan melanjutkan agenda hilirisasi nikel yang berisiko memperburuk kerusakan lingkungan di Maluku Utara. Para kandidat kepala daerah yang terpilih dengan dukungan partai-partai KIM Plus diperkirakan akan menjadi bagian dari mesin yang menggerakkan eksploitasi nikel lebih lanjut.

Tuntutan JATAM: Evaluasi dan Moratorium

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh izin tambang di Maluku Utara, serta segera melakukan moratorium perizinan tambang di daerah tersebut. Sebagai langkah pemulihan, wilayah yang telah mencapai titik kritis harus segera dipulihkan. Selain itu, JATAM juga mendesak KPK untuk melanjutkan penyelidikan terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam kasus korupsi sumber daya alam, termasuk pihak-pihak yang terkait dengan Blok Medan, seperti Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu.

Politik dan Korporasi: Dua Sisi Mata Uang yang Sama

Terpilihnya Sherly Tjoanda sebagai Gubernur Maluku Utara, yang juga seorang pebisnis ekstraktif, serta kemenangan kandidat dari partai-partai KIM Plus di daerah-daerah penghasil nikel, semakin menunjukkan betapa politik dan korporasi saling terkait dalam memperburuk kondisi di Maluku Utara. Pemerintah, dengan ambisi besar untuk mengejar keuntungan dari sektor energi dan tambang, justru menambah ketegangan sosial dan ekologis yang ada.

Masa Depan Maluku Utara: Harapan yang Semakin Menipis

Jika situasi ini tidak segera dihentikan, Maluku Utara akan menghadapi kerusakan yang lebih besar di tahun 2025. Kerusakan lingkungan yang meluas dan bencana sosial-ekologis yang tak terhindarkan menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan hidup masyarakat di wilayah ini. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah gerakan rakyat yang mampu melawan kekuatan politik dan korporasi yang telah merusak kehidupan mereka.***

Artikel ini telah tayang di IndoBisnis.co.id.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments