Selasa, April 22, 2025
spot_img
BerandaHUKUM DAN KRIMINALKemerosotan Kebebasan Pers dan Demokrasi, AJI dan ICW Soroti Cawe-cawe Pemerintah

Kemerosotan Kebebasan Pers dan Demokrasi, AJI dan ICW Soroti Cawe-cawe Pemerintah

JAKARTA, IndoBisnis – Kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia semakin merosot. Hal ini menjadi sorotan utama dalam workshop bertajuk “Kebijakan Publik dan Demokrasi” yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Sabtu, 22 Maret 2025, di Sekretariat AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan.

Indeks demokrasi Indonesia pada 2024 mengalami penurunan drastis, bertentangan dengan tren tahun Pemilu yang seharusnya meningkatkan partisipasi politik. Para pakar menilai, fenomena ini terjadi akibat politik dinasti dan manipulasi aturan yang semakin menguat di lingkup kekuasaan.

Workshop yang berlangsung selama dua hari ini menghadirkan sejumlah pakar, termasuk Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, dan Peneliti dari Institute of Social Studies, University of Tartu Estonia, Muhammad Okky Ibrohim.

Titi Anggraini mengungkapkan bahwa indeks demokrasi Indonesia turun ke angka 6.44, dengan aspek kultur politik hanya 5.00 dan kebebasan sipil 5.29. Penurunan ini, menurutnya, merupakan anomali, mengingat Pemilu biasanya mendorong peningkatan indeks demokrasi.

“Pemilu 2024 malah menjadi titik kemunduran demokrasi akibat politik dinasti dan politisasi aturan hukum,” ujar Titi.

Ia menyoroti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023, yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi Wakil Presiden terpilih mendampingi Prabowo Subianto. Keputusan ini, menurutnya, merupakan bentuk cawe-cawe kekuasaan yang semakin menguat.

Bivitri Susanti menambahkan bahwa kemerosotan indeks demokrasi juga berkaitan erat dengan kebebasan sipil. Negara, menurutnya, memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin hak warga negara dalam menyampaikan pendapat, beragama, dan berkeyakinan.

“Hak ini harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi oleh negara. Namun yang terjadi justru sebaliknya,” tegasnya.

Sementara itu, Muhammad Okky Ibrohim mengangkat isu ujaran kebencian (hate speech) dalam era digital dan bagaimana jurnalis bisa berperan dalam memitigasi dampaknya. Berdasarkan hasil penelitiannya, ujaran kebencian dapat berujung pada diskriminasi, konflik sosial, hingga ancaman genosida.

“Dampak ujaran kebencian tidak bisa dianggap remeh. Jurnalis harus lebih cermat dalam melaporkan isu ini agar tidak memperburuk keadaan,” jelas Okky.

Workshop ini akan berlanjut pada Minggu, 23 Maret 2025, dengan menghadirkan Aktivis Hak Perempuan Siti Musdah Mulia dan perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai narasumber.

Para peserta diharapkan dapat memahami lebih dalam hubungan antara kebijakan publik, demokrasi, dan kebebasan pers di Indonesia yang semakin terancam.***

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments